Selasa, 28 Juni 2011

LARANGAN TERHADAP BAARANG YANG DIHARAMKAN

Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jassa yang diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah, yaitu keharusan menghindar dari kemudaratan. Al Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu barang atau jasa , menyatakan secara ekslisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk dimakan, diminum maupun dipakai oleh seorang muslim. Diantaranya adalah meminum khamar (minuman keras) dan menggunakan bangkai, atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al Qur'an dan Sunah nabi Muhammad SAW juga secara ekslisit melarang dilakukannya berbagai jenis atau tindakan antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain dan sebagainga.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang atau jasa yang secara eksplisit dilarang Al Qur'an dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama dengan zat yang diharamkan dalam Al Qur'an dan Sunah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oelh Majelis Ulama Indonesia. Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk selalu memastikan kehalalan jenis usaha yang di8bantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang diharamkan.

Jumat, 22 Oktober 2010

CICILAN kREDIT ALA ISLAM DENGAN MURABAHAH

April 5, 2007 —

Dalam sistem ekonomi, perdagangan, dan perbankan di dunia Islam, dikenal beberapa metode yang halal dalam bertransaksi secara syariah. Metode metode tersebut di antaranya:

1. Jual beli secara cash; yang ini jelas sekali akad dan aturannya, ada uang ada barang. Hanya saja ada rukun2 yang harus diikuti, selengkapnya bisa dibaca di Jual Beli dalam Islam (yang Boleh dan yang Terlarang).
2. Permodalan / pembiayaan usaha (dengan Mudarabah atau Musharakah); Ini salah satu model pembiayaan yang disarankan. Berbeda dengan model kredit bank konvensional yang menggunakan sistem bunga (yang jelas-jelas riba), kredit yang ditawarkan disini menggunakan cara sharing profit / bagi hasil melalui nisbah yang ditentukan dalam akadnya. Info selengkapnya ada di Musharakah & Mudarabah By Maulana Taqi Usmani atau MUSHARAKAH AND MUDARABAH AS MODES OF FINANCING .
3. Cicilan kredit (Murabahah);

Khusus untuk item terakhir ini, perlu dijelaskan dalam akadnya. Akad Murabahah ini mirip dengan akad dalam jual beli. Jadi ada proses transaksi pertukaran barang dengan uang, dimana pembayarannya dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu dengan besaran total pembayaran yang tetap. Dalam perjanjiannya pun diperkenankan adanya biaya administrasi, bonus ataupun sanksi.
Mengenai bonus dan sanksi ini tidak bisa disamakan dengan bunga. Bunga dalam kredit konvensional merupakan pertambahan nilai dari nilai pokok pinjaman, dan hal ini jelas – jelas riba dan diharamkan. Sedangkan sanksi disini lebih ditekankan pada sanksi berupa denda misalnya keterlambatan pembayaran, sehingga dengan adanya sanksi ini, debitor akan berusaha menepati janji pembayarannya. Begitu pula bonus keringanan pembayaran hutang apabila melunasi sebelum jangka waktu pelunasan. Semua itu harus dijelaskan dengan gamblang pada saat perjanjian / akad antara kedua belah pihak.

Contoh murabahah ini misalnya si A membeli barang seharga 500 ribu rupiah, dan A menjualnya ke orang B dengan harga 600 ribu rupiah. Ingat, hal ini (markup) sah2 saja dalam dunia perdagangan / transaksi jual beli, namanya juga orang dagang, pasti kan cari untung. Di dalam akadnya, B berjanji akan membayar 600 ribu rupiah dalam 10 kali cicilan dalam kurun waktu 10 bulan, jadi setiap bulannya B akan membayar A sebesar 60 ribu rupiah. A juga menyetujui perjanjian ini. Maka jadilah akad murabahah ini.

Contoh lain misalnya berupa KPR, lebih tepatnya KPR syariah. Bank penyedia KPR membeli rumah dari developer dengan harga terntentu, misalnya 150 juta rupiah. Kemudian Bank tersebut menjual kepada pembeli dengan harga 240 juta rupiah, dicicil selama 10 tahun, sehingga pembeli membayar sejumlah 2 juta tiap bulannya selama 10 tahun.
Berbeda dengan praktek KPR konvensional saat ini, dimana bank akan menetapkan cicilan pada satu tahun pertama dengan nilai tetap, sedangkan di tahun berikutnya akan berubah sesuai dengan kondisi keuangan / fluktuasi di tahun tersebut. Ada pertambahan nilai yang didasarkan pada bunga, alias riba.

Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa di dalam Islam ada sistem pembayaran dengan cara dicicil / kredit yaitu Murabahah, dimana akad yang ada di dalamnya mirip dengan akad jual beli.
by : Maulana Taqi Usmani
Posted in economy. 8 Comments »

Jumat, 02 Juli 2010

HUKUM JUAL BELI BARANG BLACK MARKET

Transaksi jual-beli barang black market (BM) mempunyai dampak negatif pada kondisi perekonomian pada suatu wilayah (negara). Hal ini dikarenakan, disamping barang BM tersebut masuk ke suatu wilayah tanpa terkena pajak (tax), barang BM juga termasuk kategori gharar, tidak jelas asal usulnya.

Dalam perspektif hukum Islam, praktek transaksi jual-beli termasuk sesuatu yang dibolehkan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275. “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Ayat ini sesuangguhnya masih bersifat umum. Karena tidak semua model transaksi jual-beli yang dihalalkan dalam syariah Islam. Sehingga ada beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang men-takhsish ayat tersebut. Ditemukan beberapa hadits Nabi yang menjelaskan transaksi jual-beli yang masuk dalam kategori dilarang untuk dipraktekkan.

Beberapa transaksi jual-beli yang dilarang dalam Islam, diantaranya adalah ba’i al-gharar (jual-beli yang mengandung unsur ketidakjelasan (jahalah)), ba’i al-ma’dum (transaksi jual-beli yang obyek barangnya tidak ada), ba’i an-najash (jual-beli yang ada unsur penipuan), talaqi rukban (transaksi jual-beli yang menciptakan tidak lengkapnya informasi di pasar, karena penjualnya dihadang di tengah jalan), transaksi jual-beli pada obyek barang yang diharamkan, dll.

Adapun praktek transaksi jual-beli barang BM termasuk dalam transaksi yang dilarang, karena beberapa sebab, di antaranya adalah: Pertama, transaksi BM merupakan bentuk transaksi yang ilegal. Mengapa ilegal? Karena barang BM adalah barang yang statusnya tidak diakui di pasar. Karena masuknya ke pasar melalui selundupan, agar tidak kena bea cukai.

Kedua, transaksi jual-beli BM akan mengganggu keseimbangan pasar. Dalam hal ini, barang-barang BM yang telah beredar di pasar akan mempengaruhi harga barang sejenis yang dijual secara legal. Biasanya, barang yang berstatus BM akan dijual lebih murah, dibanding dengan barang yang memang statusnya diperoleh secara legal.

Rasulullah Saw melarang bentuk transaksi yang berakibat pada terganggunya mekanisme pasar. Dari sisi penawaran (supply), kondisi harga pasar akan terganggu. Hal ini sama dengan model transaksi talaqi rukban yang dilarang untuk dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Karena efeknya sama-sama mempengaruhi mekanisme pasar.

Ketiga, ajaran Islam memberikan panduan bagi umatnya untuk menggunakan barang atau produk yang halal. Produk BM termasuk dalam kategori produk yang tidak jelas (gharar) asal usulnya. Bisa jadi, produk BM berasal dari praktek yang dilarang dalam Islam, seperti hasil pencurian atau penipuan dll.

Dalam hal ini, produk BM bisa kita kategorikan dalam transaksi yang gharar (tidak jelas) yang prakteknya dilarang dalam ajaran Islam. Demikian penjelasan yang dapat pengasuh sampaikan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan kita tentang ekonomi syariah. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq. [hsn]

Ditulis dalam Interaktif | Tag: Black Market, Talaqi Rukban

PROMOSI ATAU DAKWAH EKONOMI SYARIAH

Sangat menarik membaca artikelnya Akhsin Muamar yang berjudul Marketing Dakwah Ekonomi Syariah di koran Republika, 01/09. Akhsin bicara tentang realita yang kini terjadi di industri perbankan dan keuangan syariah di Indonesia. Realita itu diantaranya berupa ketidakmampuan industri perbankan syariah untuk mengejar target 5% yang selama ini dipatok sendiri sampai dengan akhir 2008.

Kalau dicermati, penyebabnya terletak pada model pendekatan yang digunakannya terlalu berat berorientasi kepada iklan dan brand. Selama ini, industri perbankan dan keuangan syariah mengikuti ‘irama’ yang dilantunkan oleh industri perbankan dan keuangan konvensional dengan memilih promosi sebagai media untuk mengejar target tersebut. Sehingga tidaklah salah, jika saat ini masih ada masyarakat yang mengesankan sama antara apa yang dilakukan oleh bank syariah dengan bank konvensional. Ke depan, dengan semakin kuatnya posisi industri perbankan syariah pasca disahkannya UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dituntut untuk menampilkan karakternya sendiri sebagai bank syariah.

Seharusnya bank syariah mempunyai ‘warna’ dan karakter tersendiri dalam segala hal, sebagai diferensiasi dengan bank konvensional. Selama ini, bank syariah masih sering ‘melirik’ saudara tuanya, bank konvensional, yang nota-benenya terlahir lebih dahulu di tengah-tengah sistem perbankan nasional dalam menjalani operasionalnya. Termasuk menggunakan instrumen promosi dalam mengejar target.

Bagi perbankan konvensional, promosi yang dilakukannya tidak lebih hanya sekedar untuk pencapaian jangka pendek, yakni bersifat materialistis. Promosi bagi bank kovensional tidak lebih dari sekedar jualan produk. Kalau bank syariah berperilaku seperti bank konvensional dengan menempatkan promosi sebagai bentuk jualan produk, berarti bank syariah hanya berorientasi jangka pendek. Dalam hal ini, secara tidak langsung bank syariah telah menafikan pemahaman adanya proses jangka panjang yang berorientasi untuk menggapai maslahah, sakinah, dan falah.

Pilihan promosi sebagai cara untuk mengejar target, bukanlah tanpa risiko. Bagi industri perbankan syariah, saat ini untuk melakukan kegiatan promosi, realitanya masih kalah jauh dibanding dengan upaya promosi yang dilakukan oleh industri perbankan konvensional. Sudah biaya iklan sangat mahal, namun hasilnya bisa jadi masih kurang memuaskan. Hal ini terlihat dari beberapa promosi bank syariah di TV yang menghabiskan milyaran rupiah atau bisa terlihat melalui promosi dalam bentuk pameran (festival) yang nilai edukasinya masih terasa kurang.

Di sisi lain, dalam pandangan Akhsin, masih ada masalah di pangsa pasar kelas menengah ke atas yang cenderung tidak loyalis dengan bank syariah. Bagi kelas ini, bank syariah masih dianggap ribet, dan tidak user friendly. Persepsi seperti ini kalau tetap dibiarkan akan menjadi penghalang bagi promosi yang dijalankan oleh industri perbankan syariah. Bahkan, bisa jadi promosi tersebut akan sia-sia saja dan merugikan bagi industri perbankan dan keuangan syariah, karena tidak mendapat respon baik oleh market.

Sesungguhnya industri perbankan dan keuangan syariah dapat menggunakan metode yang ditawarkan oleh Akhsin yang selama ini juga dilakukan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), yakni dengan menggunakan pendekatan dakwah. Ya, dakwah ekonomi syariah. Dengan mengambil motto “Dakwah Ekonomi Syariah Untuk Jangka Panjang Yang Tidak Mengenal Lelah”, PKES mengedukasi masyarakat mengenai ekonomi syariah melalui buku-buku yang diterbitkan. Di antara buku yang diterbitkan oleh PKES ada buku Khutbah Jum’at Ekonomi Syariah dan buku Materi Dakwah Ekonomi Syariah yang dapat dijadikan panduan bagi para da’i-da’iah ataupun muballigh-muballighat untuk mendakwahkan ekonomi syariah ke masyarakat. Selama ini, isi khutbah jum’at dan dakwah di majelis-majelis ta’lim lebih banyak menjelaskan masalah-masalah ibadah dan aqidah. Dengan adanya kedua buku tersebut dapat mencerahkan masyarakat mengenai ekonomi syariah.

Promosi yang masih identik dengan jualan produk bagi industri keuangan dan perbankan syariah sudah harus dikurangi porsinya, untuk digantikan dengan kegiatan yang berorientasi pada edukasi (baca: dakwah) ekonomi syariah ke masyarakat. Realita yang terjadi di masyarakat saat ini masih banyak yang belum mengerti tentang ekonomi syariah, baik dari sisi konsep ataupun aplikasinya dalam bentuk lembaga keuangan syariah. Oleh karena itu, diperlukan gerakan yang dapat membuat gelombang besar dakwah ekonomi syariah di tengah-tengah masyarakat.

Ibaratnya, masyarakat kita masih perlu diajari bagaimana manfaat menggunakan ‘helm’ yang baik untuk keamanan berkendara. Setelah mereka faham cara memakai helm, nantinya terserah mereka mau membeli helm dimana. Begitu pula dengan kondisi masyarakat yang menjadi pangsa pasar industri perbankan dan keuangan syariah yang masih banyak belum faham ekonomi syariah. Nantinya setelah masyarakat sudah melek ekonomi syariah, terserah mereka mau menambatkan hatinya untuk mengambil produk dari bank syariah yang cocok dengan seleranya. Jadi, edukasi dan dakwah ekonomi syariah ke masyarakat masih perlu diperkuat dan diperluas wilayah dakwahnya. Mungkinkah promosi dapat bersinergi dengan dakwah ekonomi syariah !!! Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq

Ditulis dalam Ekonomi Islam | Tag: Dakwah, ekonomi syariah, Marketing Dakwah, Promosi

MENCIPTAKAN MORALITAS PEMBANGUNAN

Manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat berbuat sesuai dengan keinginannya. Dalam bahasa teologi Mu’tazilah, kemampuan tersebut diimplikasikan dalam bentuk kehendak bebas yang dimiliki manusia. Kehendak bebas inilah yang membawa manusia pada posisi sebagai makhluk yang dapat bebas berekspresi dan berinovasi membangun satu hayalan menjadi satu hal yang nyata. Di sinilah letak kekuatan manusia dibanding dengan makhluk-makhluk lainnya.

Keinginan yang begitu banyak memungkinkan manusia untuk mengaktifkan kehendak bebas. Pada tataran awal, kehendak bebas itu menempatkan dirinya pada posisi pelepasan terhadap nilai-nilai, baik itu dalam bentuk nilai moral ataupun nilai etika. Manusia pada tahap ini dapat berbuat dengan seenaknya sendiri, tanpa ada landasan moral. Pada akhirnya, dengan landasan berbuat seperti itu, terciptalah satu struktur masyarakat yang bebas moral. Di sini manusia dapat membuat nuklir untuk berperang, saling membunuh dan menumpahkan darah. Dan lain sebagainya dari berbagai aspek negatif yang ditimbulkan oleh kehendak bebas itu.

Pada kondisi seperti ini, manusia telah jauh melenceng dari tugas awal yang telah digariskan oleh Penciptanya, sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai tugas utama memakmurkan kehidupan di bumi dengan kebahagiaan dan ketenangan. Bukan sebaliknya, seperti yang pernah dikhawatirkan oleh malaikat tetkala berdialog dengan Allah Swt dalam memprediksikan makhluk yang diberi nama “manusia” untuk mengemban tugas berat di muka bumi sebagai penghancur, pembuat onar, penumpah darah dan seluruh aktifitas yang mensubordinasikan nilai-nilai moral.

Masalahnya sekarang adalah bagaimana caranya mengembalikan posisi moral pada diri manusia yang hilang tersebut, sehingga ia dapat menciptakan satu moralitas dalam kehidupannya, yang akhirnya dapat memulihkan kedudukannya betul-betul sebagai wakil Allah Swt di bumi, dan diakui oleh sesamanya ataupun makhluk lainnya sehingga ia tidak menjadi bahan cemoohan/ejekan makhluk-makhluk lainnya yang memang dasarnya meragukan kemampuan manusia sebagai “khalifah” Allah Swt di permukaan bumi.

Sebagai seorang filosof, Kant menawarkan obat sebagai penawarnya dalam bentuk “teori kehendak bebas transenden”. Lebih jauh Kant menjelaskan manusia memang harus mengoptimalkan kehendak bebas yang dimilikinya sebagai manifestasi dari kodrat manusia itu sendiri, dengan kekuatan akal yang dianugerahkan kepadanya dalam wujud aktifitas, ekspresi yang mempunyai dimensi transenden. Dimensi transenden inilah yang dalam bahasa sehari-hari dapat diartikan sebagai penguatan peran moral dalam diri manusia.

Dalam makalah ini akan diketengahkan kajian tentang menciptakan moralitas pembangun-an dalam studi pendekatan epistemologi ekonomi Islami

Moral dan Etika
Kata moral mempunyai makna yang sepadan dengan kata etika. Seperti dijelaskan Harold H. Titus term moral dan etika itu maknanya adalah saling berhubungan. Yang pertama berasal dari bahasa Latin moralis, sedang yang kedua berasal dari bahasa Yunani, ethos. Keduanya dapat diartikan dengan; adat-istiadat tata cara atau jalan hidup (way of life). Kedua kata ini biasanya digunakan dengan makna sinonim. Akan tetapi, dewasa ini penggunaan kedua kata tersebut menunjukkan pengkhususan: Moralitas digunakan untuk menunjukkan tingkah laku/perilaku tertentu “it self”. Sementara itu, etika dipakai untuk menunjukkan proses belajar mengenai tingkah laku/perilaku moral.

Sementara itu, K. Bertens merujuk makna bentuk jamak dari etika: ta etha mendefinisikan etika sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun demikian K. Bertens menambahkan bahwa etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima suatu masyarakat -seringkali tanpa disadari- menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika sebagai ilmu ini menurut K. Bertens sama artinya dengan filsafat moral.

Filsafat moral di sini diartikan dengan penilaian tentang sesuatu entag baik ataupun buruknya. Penilaian ini disebut moralitas. Moralitas berdasarkan konteks filsafat moral ini mengambil bentuk pengertian tentang baik dan buruk yang merupakan sesuatu yang umum, yang terdapat di mana-mana dan segala zaman. Dengan kata lain, moralitas itu (kata K. Bertens) adalah fenomena manusiawi yang universal. Dalam konteks filsafat morat ini pula, K. Bertens memaknakan etika sebagai ilmu tentang moralitas, yakni tingkah laku moral.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kedua istilah di atas sebagai berikut: (a) etik: (i) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak (ii) nilai mengenal baik dan buruk yang dianut suatu golongan atau masyarakat; (b) etika: (i) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (c) etiket: (i) carik kertas yang ditempatkan pada kemasan barang (dagangan) yang memuat keterangan mengenai barang tersebut. (ii) tata cara (adat sopan santun dan sebagainya) dalam masyarakat yang beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesamanya.
Moral: (i) (ajaran tentang) baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. (ii) kondisi mental yang membuat tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. (iii) Isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Moralitas: Segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat, sopan santun.

Todays English Dictionary mengambil makna sebagai berikut: Ethic (s):(i) Keyakinan moral mengenai benar dan salah; (ii) Muatan-muatan filosofis yang terdiri dari beberapa persoalan moral. Ethica: (i) Digunakan untuk membicarakan tentang sesuatu yang dikerjakan dengan cara mempertanyakan mengenai benar atau salahnya. (ii) Sikap untuk menerima prinsip-prinsip tentang tindakan yang benar. Moral: Digunakan untuk menyata-kan sesuatu yang berhubungan dengan tindakan yang benar. Morality: Keyakinan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, sedangkan tindakan yang lain adalah salah.
Melihat definisi dari dua kamus di atas dapat disebutkan bahwa etika dan moral berkaitan dengan kelakuan, tindakan, dan perbuatan yang didasarkan pada norma, asas, dan nilai baik-buruk yang diyakini oleh suatu masyarakat tertentu. Perbuatan, tindakan, dan tingkah laku itu lalu berada dalam penilaian etis dan moral.

Dalam melakukan perbuatan, seseorang didasarkan pada keinginannya. Keinginannya ini adalah kebebasannya, apakah ia akan berlaku baik atau pun buruk. Oleh karena itu, dalam kamus di atas disebutkan bahwa etika berkaitan dengan hak dan kewajiban moral; moral berhubungan dengan ajaran baik-buruk, kondisi mental untuk tetap berbuat baik, dan keinginan hati nurani.

Etika dan moral berkaitan dengan hukum baik-buruk, dan oleh karena itu keduanya tidak netral. Istilah etika dan moral dalam konteks ini mempunyai makna hukum baik dari perbuatan. Maka orang yang berkelakuan buruk itu disebut tidak bermoral, atau telah keluar dari jalur yang telah digariskan oleh etika.

Pembangunan
Pemaknaan kata pembangunan tidak akan terlepas dari suatu proses; proses dalam wujud membangun dan berbuat untuk lebih meningkat dan maju, baik secara fisik ataupun non fisik. Dalam beberapa hal “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan (baca: pertumbuhan ekonomi) hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Oleh karenanya Myrdal (1968) misalnya mengartian pembangunan sebagai pergerakan ke atas dari seluruh sistem sosial. Ada pula yang menekankan pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change) terutama perubahan nilai-nilai dan kelembagaan. Kondisi ini dilandasi argumen adanya dimensi kualitatif yang jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya tercatat munculnya paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembanguann yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).

Demikian beragamnya makna pembangunan yang diturunkan oleh para ahli berdasarkan pengalaman di berbagai negara dan studi empiris yang mereka lakukan. Boleh dikata hampir setiap orang yang peduli dengan pembangunan sebagai tujuan yang diinginkan bagi negara dan penduduk di negara dunia ketiga. Namun begitu banyak interpretasi mengenai makna pembangunan, sehingga orang kadang bertanya-tanya apakah pembangunan hanya tidak lebih merupakan pandangan utopia setiap orang?
Sejarah pemikiran mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makna pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antri paradigma lain, seperti; wanita dalam pembangunan, pembangunan regional/spasial, pembangunan masyarakat, dan pembangunan dalam bingkai ekonomi islami.

Kendati demikian, banyak yang memandang paradigma baru tentang pembangunan ini masih berada pada tataran normatif. Artinya konstribusinya mengenai pembangunan tidak berbicara dalam konteks aktual (dassein; what to be) namun lebih membahas apa yang seharusnya dilakukan (das sollen; what ought to be), Atau alternatifnya kita mau tidak mau harus mengkombinasikan berbagai paradigma tersebut dalam formulasi maupun implementasi kebijaksanaan. Nampaknya tidak salah apabila dismpulkan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai proses yang multi dimensi yang mencakup tidak hanya pembangunan ekonomi, namun juga mencakup perubahan-perubahan utama dalam struktur sosial, perilaku dan kelembagaan.

Menciptakan Moralitas Pembangunan
Pada bagian ini, ada satu tuntutan penggabungan antara dua aspek yang berbeda; moralitas dan pembangunan. Jika kedua aspek tersebut menyatu dalam kerangka satu pemikiran, akan mempunyai arti adanya keterikatan aspek-aspek pembangunan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh moral. Dengan kata lain, pengayaan adanya pembangunan yang berwawasan moral adalah satu keharusan dan tidak dapat dipungkiri adanya. Sekarang yang jadi masalah adalah bagaimana kita, sebagai manusia yang berperan sebagai pelaku pembangunan dapat menciptakan satu moralitas dalam membangun ?
Beberapa konsep dapat diungkapkan dalam kajian kali ini. Seorang filosof, semisal Kant, mungkin menjawabnya dengan teori “kebebasan kehendak transenden”. Dalam hal ini, pelaku pembangunan mempunyai kesempatan yang luas untuk berkarya dan berinovasi dalam membangun sesuai dengan iradah (kehendak) yang dimiliki manusia. Walaupun begitu, dalam prakteknyadia harus selalu menyandarkan pada nilai-nilai transenden yang suci dan murni dalam bentuk moralitas. Sehingga dalam kesempatan akhir akan didapati satu kondisi yang terlepas dari berfikir pemisahan nilai-nilai moral dan aspek-aspek pembangunan.

“Obat penawar” yang diajukan oleh golongan filosof itu mungkin dapat digunakan, tapi kurang efektif. Hal ini dikarenakan konsep yang ditawarkan masih sangat subyektif-abstraktif. Teori “kebebasan kehendak transenden”, tidaklah dapat memberikan jaminan kejelasan terciptanya moraliats pembangunan. Pada tingkat pelaksanaanya dimungkinkan hanya dapat dilaksanakan oleh beberap gelintir manusia, yang memang dasarnya ia berpegang dengan nurani serta kesucian jiwa yang dimilikinya. Masalahnya yang lain, teori tersebut tidak mempunyai nilai hukum yang bersifat imperatif dan mengikat. Oleh karenanya, pada tataran berikutnya diperlukan adanya aturan hukum yang betul-betul mengikat pada semua pihak yang terlibat pada proses membangun untuk selalu mengacu pad nilai-nilai moral dalam pembangunan.

Dalam wacana ke-Indonesia-an, sikap nasionalisme dalam bentuk penundukka pada asas bangsa yaitu Pancasila, dapat memaksimalkan terwujudnya moralitas pembangunan. Tetapi masih ada kekuarnganya. Pancasila itu sendiri adalah Pancasila yang hanya sekedar mengandung nilai-nilai etika luhur dengan kekosongan daya “tuntutan hukum” bagi pelanggaran nilai-nilai moral. Secara aplikatif sangat diperlukan satu aturan hukum baku yang memuat juga adnya hukuman bagi penyelewengan moral.

Dari sinilah akan dihasilkan “konsensus bersama” untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas dalam segenap aspek pembangunan. Kalau hal ini terwujud, paling tidak slogan yang menyatakan adanya pembangunan yang berwawasan humanisme telah termanifestasi-kan dalam pengkristalan nilai-nilai moral yang mewarnai pembangunan. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq

Oleh: AM Hasan Ali, MA

Ditulis dalam Umum | Tag: Add new tag, Ekonomi Islam, ekonomi syariah, Moralitas, Pancasila, Pembangunan

Rabu, 30 Juni 2010

LARANGAN TERHADAP TRANSAKSI YANG DIHARAMKAN SISTEM DAN PROSEDUR PEROLEHAN KEUNTUNGANNYA

Selain melarang transaksi yang haram zatnya, agama Islam juga melarang transaksi yang diharamkan sistem dan prosedur perolehan keuntungannya. Beberapa hal yang masuk kategori transaksi yang diharamkan karena sistem dan prosedur perolehan keuntungan tersebut adalah :
1. Tadlis ( ketidaktahuan satu pihak )
2. Gharar ( ketidaktahuan kedua pihak )
3. Ikhtikar ( rekayasa pasar dalam pasokan )
4. Ba'i najasy ( rekayasa pasar dalam permintaan )
5. Maysir ( judi )
6. Riba

KETERANGAN :
1. TADLIS
Adalah transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak. Tadlis dapat terjadi pada salah satu dari 4 ( empat ) hal poko dalam jual beli berikut ini :

A, KUANTITAS
Salah satu pihak ( penjual ) misalnya mengurangi taksiran barang yang telah disepakati antara penjual dn pembeli. Pengurangan takaran, dalam hal ini, hanya diketahui oleh si penjual. Sekiranya pembeli mengetahui adanya penguranga tersebut, dapat dipastikan pembeli tidak akan rela dalam jual beli yang telah dilakukan.

B, KUALITAS
Dalam hal kualitas, misalnya salah satupihak ( penjual ) mengetahui bahwa barang yang dijual memiliki cacat yang sekiranya diketahui oleh pembeli, maka harga jual barang akan berkurang sesuai dengan nilai barang yang sebenarnya. Dalam hal ini, penjual sengaja tidak memberitahu cacat barang tersebut agar dapat menjual dengan harga tinggi atau lebih tinggi dari sebenarnya. Transaksi ini diharamkan karena sekiranya pembeli tahu, maka ia tidak akan rela terhadap transaksi tersebut.

C. HARGA
Praktik tadlis pada harga dilakukan penjual dengan memanfaatkan ketiaktahuan pembeli tentang harga pasar, sehingga dapat menjual produknya dengan hargha t5inggi. Sekiranya pembeli mengetahui bahwa harga tinggi tersebut hanya berlaku pada dirinya sedangkan orang lain tidak, , hal ini dapat mengakibatkan rusaknya kerelaan pembeli atas transaski yang sudah dilakukan.

D. WAKTU PENYERAHAN
Praktik tadlis pada waktu penyerahan dilakukan penjual dengan menutupi kemampuan ia dalam menyerahkan barang yang sebenarnya lebih lambat dari yang ia janjikan. Contoh praktik tadlis dalam hal waktu penyerahan adalah janji penjual bisa menyelesaikan proyek dalam jangka waktu i bulan, padahal penjual tersebut memahami bahwa pada waktu yang disepakati tersebut apa yang dijanjikan tidak akan dapat dipenuhi. Kondisi ini juga bertentangan dengan prinsip kerelaan dalam muamalah.Oleh karena sekiranya pembeli mengetahui hal demikian, maka ia tidak akan mau bertransaksi dengan penjual tersebut.

Ketiadaan informasi juga bisa terjadi pada penyedia jasa dalam transaksi sewa. Sebagai contoh, pemberi kerja yang menyewa tenaga pekerja sengaja tidak menyebutkan bayaran yang akan diterima pekerja dengan pertimbangan si pekerja akan keberatan bekerja karena tidak sesuaidengan harga pasar. Setelah pekerja menyelesikan pekerjaannya, barulah bayaran disampaikan dan pekerja tidak memiliki pilihan selain menerima bayaran yang ditetapkan pemberi kerja.
Untuk menghindari praktik tadlis dalam perbankan syariah, semua transaksi yang dilakukan oleh bank syqariah, terutama yang terkait dengan jual beli barang maupun sewa jasa antara bank syariah dengan nasabah dan pihak lain maupun antara bank syariah dengan para pegawainya, harus dilakukan secara transparan. Segala hal yang pokok dalam jual beli barang atau sewa jasa harus terinformasikan kepada kedua belah pihak dan dijelaskan pada akad yang disepakati kedua belah pihak .
2.GHARAR
Transaksi Gharar memiliki kemiripan dengan tadlis. Dalam tadlis, ketiadaan informasi terjadi pada salah satu pihak, sedangkan dalam gharar ketiadaan informasi terjadi pada kedua belah pihak yang bertransaksi jual beli . Gharar dapat terjadi pada salah satu dari empat ( 4 ) hal pokok dalam jual beli berikut ini :

A.KUANTITAS
Gharar dalam kuantitas, misalnya adalah pembelian seluruh hasil panen ketika pohon atau tanaman belum menunjukkan hasilnya. Dalam hal ini , pada saat jual beli, baik penjual atau pembeli tidak tahu berapa kuantitas hasil panen yang diperjualbelikan. Nilai jual beli panen bisa lebih tinggi dan bisa lebih rendah dibandin g nilai yang diserahterimakan. Sekiranya hasil panen lebih tinggi dari nilai uang yang diberikan pembeli, maka pembeli akan menjadi pihak yang diuntungkan, sedangkan penjual tidak dapat menikmati keberhasilan panennya. Sebaliknya, jika hasil panen lebih rendah dibanding nilai transaksi saat pembelian, pembeli akan menjadi pihak yang dirugikan.

B. KUALITAS
Gharar dalam kualitas , mislnya adalah penjualan sapi yang masih dalam perut induknya. Kedua belah pihak, baik pembeli maupun penjual , tidak mengetahui bagaimana kualitas sapi itu nantinya ketika lahir. Dalam hal ini, sekiranya sapi yang dilahirkan berkualitas baik , maka pembeli akan diuntungkan, dan sebaliknya akan menjadi pihak yang dirugikan apabila sapi yang dilahirkan nantinya aadalah sapi dengan kualitas buruk.

C.HARGA
Gharar dalam harga dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak pasti mengenai harga yang dipakai dalam jual beli yang disepakati. Sebagai contoh adalah jual beli dengan kesepakatan harga berikut,”Sekiranya barang ini lunas dalam jangka waktu di bawah satu tahun, maka marginnya adalah 20 %, tapi seandainya lunas antara satu hingga dua tahun, maka marginnya otomatis menjadi 40 % “. Oleh karena kedua belah pihak tidak tahu apakah pembayaran akan dilunasi dalam satu tahun atau lebih, dalam hal ini harga barang barang mengalami ketidakpastian, apakah harga dengan margin 20 % maupun harga dengan margin 40 %.

D.WAKTU PENYERAHAN
Gharar dalam hal waktu penyerahan dapat terjadi jika kedua belah pihak tidak tahu kapan barang akan diserahterimakan. Sebagai contoh penjualan mobil yang sedang hilang dicuri dengan akad pembeli membayar seharga tertentu dan berhak atas mobil yang sedang hilang dilarikan pencuri.

3. BA’I IKHTIKAR
Merupakan bentuk lain dari transaksi jual beli yang dilarang oleh syariah Islam. Ikhtikar adalah mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun . Dengan demikian, penjual akan memperoleh keuntungan yang besar karena dapat menjual dengan harga yang jauh lebih tinggi disbanding harga sebelum kelangkaan terjadi. Pelarangan tindakan ini, selain memiliki dalil naqli ( dalil yang sudah ditulis dalam Al Qur’an), juga didasarkan atas kaidah fikih terkait dengan keharusan memelihara nilai keadilan serta menghindari unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan .

4.BA’I NAJASY
Adalah tindakan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk, sehingga harga jual produk akan naik. Upaya menciptakan permintaan palsu antara lain dengan

a.Penyebaran isu yang dapat menarik orang lain untuk membeli barang

b.Melakukan order pembelian semu untuk memunculkan efek psikologis orang lain untuk membeli dan bersaing dalam harga .

c.melakukan pembelian pancingan sehingga tercipta sentiment pasar. Bila harga sudah naik sampai level yang dinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli.

5.MAYSIR
Ulama mendefenisikan maysir (judi atau gambling) sebagai sebuah permainan di mana satu pihak akan memperoleh keuntungan sementara pihak lainnya akan menderita kerugian. Cpntoh penerapan larangan maysir pada keuangan syariah aqdalah larangan untuk memberikan pembiayaan pada bisnis yang mengandung unsure judi. Conth penerapan lain adalah larangan pada bank untuk untuk menjadikan uang sebagai instrument spekulasi dan mendapatkan keuntungan dari ketidakstabilan nilai tukar mata uang.

6.R I B A
Secara bahasa, riba bermakna tambahan, tumbuh atau membesar. Defenisi riba yang banyak digunakan dalam literature ekonomi syariah adalah defenisi yang dirumuskan oleh Imam Sarakhsi sebagai berikut :
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
Riba adalah bentuk transaksi yang dilarang dalam Islam dan bersinggungan langsung dengan praktik perbankan konvensional. Pada akhir tahun 2003 MUI secara resmi memfatwakan haramnya bunga bank konvensional. Alasan riba diharamkan oleh Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah agar orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat makruf lagi atas transaksi pinajanm –meminjam dan sejenisnya , padahal Qardh bertujuan menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.

Riba dalam transaksi utang piutang terbagi atas 2 (dua) kategori yaitu :
-1. Riba Qardh adalah kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang

-2. Riba Jahiliyyah adalah riba yang timbul karena peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Adapun riba dalam transaksi jual beli terbagi 2 ( dua ) yaitu :
-1. Riba Fadhl yaitu riba yang timbul karena pertukaran antarbarang ribawi yang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.

-2. Riba nasi’ah adalah riba yang timbul karena penangguhan penyerahan atau penerimaan barang yang dipertukarkan dengan jenis barang lainnya

Senin, 21 Juni 2010

LARANGAN TERHADAP TRANSAKSI YANG MENGANDUNG BARANG ATAU JASA YANG DIHARAMKAN

Larangan terhadap transaksi yang mengandung barang atau jassa yang diharamkan sering dikaitkan dengan prinsip muamalah, yaitu keharusan menghindar dari kemudaratan. Al Qur'an dan Sunah Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hukum dalam menentukan keharaman suatu barang atau jasa , menyatakan secara ekslisit berbagai jenis bahan yang dinyatakan haram untuk dimakan, diminum maupun dipakai oleh seorang muslim. Diantaranya adalah meminum khamar (minuman keras) dan menggunakan bangkai, atau hewan yang dilarang seperti babi, binatang bertaring untuk dimakan atau dipakai untuk kosmetik. Al Qur'an dan Sunah nabi Muhammad SAW juga secara ekslisit melarang dilakukannya berbagai jenis atau tindakan antara lain tindakan prostitusi, mempertontonkan aurat, merusak akidah, menganiaya orang lain dan sebagainga.
Seiring dengan perkembangan zaman, terdapat cukup banyak variasi makanan, minuman dan tindakan yang secara substansi sama dengan barang atau jasa yang secara eksplisit dilarang Al Qur'an dan Assunah. Dalam hal ini, mayoritas ulama sepakat untuk menerapkan hukum yang sama dengan zat yang diharamkan dalam Al Qur'an dan Sunah Nabi.
Bagi industri perbankan syariah, pelarangan terhadap transaksi yang haram zatnya tersebut diwujudkan dalam bentuk larangan memberikan pembiayaan yang terkait dengan aktivitas pengadaan jasa, produksi makanan, minuman dan bahan konsumsi lain yang diharamkan oelh Majelis Ulama Indonesia. Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah dituntut untuk selalu memastikan kehalalan jenis usaha yang di8bantu pembiayaannya oleh bank syariah. Dengan demikian, pada suatu bank syariah tidak akan ditemui adanya pembiayaan untuk usaha yang bergerak di bidang peternakan babi, minuman keras, ataupun bisnis pornografi dan lainnya yang diharamkan.